Lambang Kesehatan
Thursday, January 03, 2013
Add Comment
Sejarah Simbol Tongkat dan Ular Dunia Kedokteran
caduceus dan staff of aesculapius.
Anda tentu sudah amat familiar dengan lambang dunia kedokteran yaitu sebatang tongkat dengan ular yang melingkarinya. Bilamana ditanya apa nama dari lambang ini, sebagian akan menjawab dengan ‘caduceus’ dan sebagian lainnya dengan ‘staff of aesculapius’. Salah satu dari nama ini sesungguhnya adalah salah kaprah dan nanti akan dijelaskan mengapa. Staff of aesculapius dilambangkan dengan sebatang tongkat dengan satu ekor ular yang melingkarinya, sedangkan caduceus dilambangkan dengan sebatang tongkat dengan dua ekor ular yang melingkarinya dan ditambah sepasang sayap di kiri kanannya (lihat pada gambar).
Staff of aesculapius (juga disebut ‘rod of aesculapius’) mengacu pada tongkat dewa penyembuhan dan pengobatan Yunani bernama Asclepius. Sedangkan caduceus adalah tongkat yang digenggam Hermes, dewa Yunani pelindung para pedagang. Jadi simbol yang benar dari dunia kedokteran sebetulnya adalah ‘staff of aesculapius’. Namun karena sudah terjadi ‘salah kaprah’, maka simbol ‘caduceus’ justru dipakai secara luas di kawasan Amerika Utara sebagai perlambang dunia kedokteran.
Mengapa dipakai lambang ular untuk merujuk pada seni pengobatan dan kedokteran (medicine) ini? Konon di zaman Hippocrates (bapak kedokteran) hidup, mereka yang sakit akan ditempatkan pada kuil penyembuhan (healing temple) yang diberi nama ‘asclepieion’. Di pendapa kuil ini berkeliaran ular tak berbisa yang dipelihara sebagai bagian dari ritual penyembuhan para pasien. Bisa (racun) ular memang dari dahulu kala menyimbolkan kehidupan dan kematian. Racun (venom) ini bila memasuki pembuluh darah akan mematikan (fatal), tetapi bila diminum dapat merupakan obat untuk menyembuhkan sejumlah penyakit.
Simbol tongkat dan ular (staff of aesculapius) ini mulai dipakai orang sekitar tahun 1600an. Namun sejarah yang merujuk pada kuil pengobatan zaman Yunani kuno ini tak serta merta diakui semua pakar sejarah kedokteran. Ada teori lain yang diyakini sebagai asal muasal lambang tongkat dan ular ini. Dia berasal dari penyakit cacing pita yang banyak menjangkiti manusia berabad-abad yang lampau, khususnya di kawasan Mediterania dan benua Afrika. Nama cacing pita ini adalah Dracunculus medinensis (bermakna ’little dragon from Medina’) karena di kota Medina ini penyakit ini dahulu banyak berjangkit, dan nama awamnya adalah Guinea worm, karena cacing ini dahulu banyak berkembang biak di pantai Guinea, Afrika Barat.
Penyakit guinea worm ini sangat mengerikan. Setelah larvanya masuk ke dalam perut melalui air minum yang tercemar, maka dia tumbuh menjadi cacing pita dewasa. Cacing pita jantan biasanya akan mati, tetapi cacing pita betina yang bisa mencapai panjang hingga satu meter, akan menembus dinding usus dan berkelana sampai di bawah permukaan kulit. Di situ dia akan membuat borok yang menimbulkan rasa nyeri yang amat sangat. Melalui lubang di borok ini, guinea worm ini akan mengeluarkan sebagian dari anggota tubuhnya untuk bertelur. Lokasi lubang borok ini biasanya di kaki, di lengan, di batang tubuh (torso), di pantat dan alat kelamin.
Anggota tubuh cacing yang menjulur sebagian ini tak mudah untuk ditarik keluar dengan tangan penderitanya secara utuh. Bilamana badannya terputus sebagian di dalam badan si penderita, maka akan menimbulkan infeksi beracun yang mengakibatkan artritis bila terjadi di persendian dan kelumpuhan bila terjadi di sumsum tulang belakang.
Oleh karenanya, untuk ’memancing’ cacing pita ini, penduduk setempat memakai cara tradisional yang dianggap ampuh sejak beratus tahun yang lalu. Anggota tubuh cacing pita yang menjulur keluar dari lubang borok ini dipilin dengan sebatang ranting kecil. Secara berkala, ranting ini digulung dengan berhati-hati sehingga semakin lama semakin banyak anggota badan cacing ini yang tercabut. Persis seperti menggulung benang layang-layang. Pada fiksi ’Dutch Wife’ karangan Eric McCormack, dilukiskan dengan realistis seorang penjual buah di pasar bertelanjang dada dan sesekali jari tangannya memilin ranting kecil yang seakan menempel di perutnya.
Inilah kutipan narasi novel ’Dutch Wife’ mengenai ’guinea worm’: One morning early we went down to the market. At the busiest fruit stall, the stallkeeper was a big man, naked to the waist. He had a twig, a few inches long, somehow stuck to the surface of his belly. While he was talking to my friend about the freshness of the cantaloupes and the oranges, his fingers would occasionally go to the twig. He’d give it a little slow twirl, the way you wind a wristwatch. (Suatu pagi kami pergi ke pasar. Di kios buah penjualnya yang berbadan besar bertelanjang dada. Ada ranting berukuran beberapa inci yang nampak menempel di perutnya. Sembari dia menawarkan buah kantalop dan jeruk, sesekali jarinya meraba ranting kecil itu. Dia akan memilinnya perlahan-lahan, seperti kalau kita memutar tombol arloji).
Konon gambaran ranting kecil dan cacing yang terlilit di situ yang menjadi ilham untuk simbol dunia kedokteran. Penyakit yang sudah menjangkiti manusia berabad-abad lamanya ini kini sudah hampir dapat dieradikasi. Berkat kampanye Badan Kesehatan Dunia yang tak kenal lelah, dracunculiasis (penyakit cacing Dracunculus medinensis) sudah hampir hilang dari muka bumi. Mungkin dengan melihat simbol kedokteran kita bisa mengenang bahwa di suatu masa pernah ada penyakit horor yang disebabkan oleh guinea worm.
0 Response to "Lambang Kesehatan"
Post a Comment